Nikmatnya Kopi Tambora

Malam sudah kian larut. Keriuhan di bar itu tak juga surut. Aroma kopi keluar dari celah-celah dinding kayu banguan. Laki-perempuan bule, tua muda tenggelan dalam pesta akhir pekan. Suara tawa noni-noni Belanda berderai. Itu tandanya suasana dansa dan nyanyi kian hidup. Suhu dingin hingga 15 derajat Celcius pada ketinggain 700 meter di atas permukaan laut itu seperti tak dirasakan pengunjung bar. Tentu saja bir menjadi salah satu minuman favorit untuk menghangatkan badan.
Itu sekelumit pesta “minum kopi” akhir pekan para londo di kaki gunung Tambora era 1930-an. Tempatnya di areal kebun kopi Tambora sekarang.
Susana pesta sayup-sayup kerap terdengar oleh pekerja perkebunan kopi saat ini di malam-malam tertentu. Rupanya arwah para londo seperti bangkit dan mereka berpesta secara gaib di lokasi bar mereka dulu. Bangunan tempat tinggal, kantor dan bar, kolam renang serta areal pertemuan sebagian masih tersisa kini.
Kala itu kopi Tambora amat kondang hingga ke Eropa. Aromanya mengundang banyak orang kulit putih berkunjung ke sana untuk menikmati panaroma Tambora sekaligus rasa kopinya yang khas. Reputasi baik itu merupakan buah dari jerih payah G. Bjorklund yang menggagas perkebunan kopi tersebut. Pengusaha Swedia itu membuka konsesi 80 ha dengan mendatangkan para buruh dari Jawa. Jejaknya hingga kini masih terpateri dari nama bekas camp buruh seperti Afdelin Sumber Rejo dan Afdelin Sumber Urip.
Fakta sejarah itu kontras dengan keadaan sekarang yang jauh dari harapan. Kisahnya mirip dengan tragedi yang menimpa lokasi itu ketika disapu awan awan panas Tambora saat gunung itu meletus tahun 1815.
Apa pasalnya? Tak lain adalah nasib mirip para karyawan dan kebun kopi yang kian tidak produktif. Ironi itu dimulai ketika PT PT Bayu Aji Bima Sena melanjutkan hak pengelolaan dari NV Pasuma sejak tahun 1977. Pasuma sudah menggarap kebun itu mulai 1943. Bayu Aji bertahan hingga 2001, selanjutnya perusahaan menelantarkan kebun kopi tanpa perawatan. Gaji pegawai pun tak dibayar.
Dari total areal konsesi 500 ha, separohnya atau 254 haktar yang sudah ditanami kopi tapi hanya 146 ha yang berproduksi. Produktivitasnya mencapai 450 kg per hektar namun terus menurun hingga 150 kg per ha.
Setelah Bayu Aji pergi, kebun menjadi tak bertuan. Penyerobotan lahan pun marak oleh bekas karyawan. Dinas Perkebunan Kabupaten Bima akhirnya mengambil kebun sejak 2002. Penyerobotan lahan bisa ditekan. Di awal transisi, produktivitas kebun membaik. Kontibusi untuk pendapatan asli daerah juga mencapai Rp 300 juta per tahun. Hanya saja produktivitas tersebut menurun beberapa tahun terakhir ini.
Penurunan itu tentu ada kaitannya dengan belum standarnya populasi tanaman kopi, yang hanya 300-600 phn  per ha. Idealnya 1.000-1.100 phn per ha. Pada kondisi ideal itu produksi kopi akan mencapai 1.000 kg per ha.
Tanaman kopi juga yang banyak yang sudah tua, mencapai 83.487 pohon, sehingga perlu diremajakan. Usaha peremajaan memang sudah dimulai namun hanya 32.803 pohon.
Fasilitas pendukung seperti gedung, lantai pengeringan serta pabrik pengupas perlu dirawat bahkan direnovasi. Pembenahan itu harus dilakukan jika konsesi perkebunan kopi itu-sesuai HGU seluas 500 ha-bisa berproduksi seluruhnya.
Itu artinya ke depan, aromi kopi Tambora bakal menembus batas regional hingga mancanegara. Apalagi jika menilik nilai kesejarahannya yang tinggi, areal kebun kopi juga menjadi obyek studi arkeologi kelas dunia. 
Para arkeolog berkeyakinan lahan perkebunan kopi itu menyimpan sejarah berharga. Tiga bekas kerajaan yang terkubur oleh letusan Tambora diduga berada di kebun tersebut.
Dari artefak yang terkubur di sana, kata arkeolog I Made Geria dari Balai Arkeologi Bali yang memimpin tim arkeologi ke Tambora menduga pusat Kerajaan Tambora ada di lokasi bangunan untuk pekerja perkebunan kopi warisan Belanda. Made dan timnya menemukan 25 titik penyebaran batu bata kuno. Bangunan Belanda di sana hanya sebagian kecil menggunakan bata. Bagian atas dan dindingnya dari papan kayu seperti masih tampak dari bangunan kolonial itu saat ini di areal kebun kopi Tambora.
Tampaknya jejak kopi di Tambora sudah lama, jauh sebelum kebun kopi dibuka di sana. Itu artinya kopi telah dibudikan masyarakat setempat sebagai pencahariannya.
Dokumen Bo Sangaji Kai menunjukkan Belanda sudah meneke perjanjian pedagangan dengan kerajaan di lereng Tambora tahun 1701. Komoditi penting yang dierdagangkan adalah kopi.
Catatan sejarah itu kian tarpeteri manakala para arkeolog menemukan biji kopi yang berarang karena terkubur awan panas. Lokasi temuan diperkirakan merupakan lokasi dua kerajaan di Tambora.  ***

==========================================================
BuyBlogReviews.com
==========================================================

1 Komentar:

Agil said...
February 2, 2012 at 7:44 AM

Au ncau rawim ewonk....

Post a Comment

Hal penting saat berkomentar :

1. Baca artikelnya, lalu beri komentar yang sesuai dengan tema.
2. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda....

free counters