Pada masa lalu terutama pada zaman pra sejarah sudah lazim di belahan Bumi ini, masyarakat menganut kepercayaan Anisme dan Dinamisme. Demikian pula halnya di Sambori dan Bima pada umumnya. Kepercayaan akan roh-roh nenek moyang dan penyembahan pohon-pohon besar yang diyakini memiliki kekuatan gaib juga menjadi kepercayaan masyarakat Sambori. Ada pohon beringin besar di ujung Kampung Sambori Lengge yang dulu dijadikan tempat pemujaan.
Tidak hanya itu saja, keyakinan masyarakat Sambori pada hal-hal mistik cukup beragam misalnya pada bagian kiri halaman uma lengge yang sudah berusia lebih dari 300 tahun yang ditumbuhi rerumputan dilarang atau pantang untuk diinjak atau dilewati baik untuk warga sambori itu sendiri juga warga pendatang.
Sejarah Uma Lengge pun masih kental dengan nilai mistiknya, yaitu Uma Lengge yang dihuni oleh ompu dan wa`i, yang konon pada uma lengge tersebut masih menyimpan benda benda yang menyimpan nilai mistik, benda-benda tersebut antara lain buja yang memiliki nama masing masing yaitu lalino, dan lajaro serta la aji, dalam uma lengge itu juga terdapat seekor anjing hitam (Lako me`e) yang konon sering muncul sebagai penunggu di dalam uma lengge tersebut.
Pada masa lalu, Upacara dan ritual merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat Sambori. Seluruh fase kehidupan manusia tidak terlepas dari Upacara dan prosesi adat. Pada masa lalu, di kalangan warga Inge Ndai ini memiliki beberapa upacara dan ritual antara lain Upacara Kelahiran, Suna Ro Ndoso (Khitanan), Nika Ro Neku (Pernikahan), Kanggihi Kanggama (Pertanian), Ngaha Ncore (Tolak Bala), serta Upacara/Ritual Kematian.
Namun sejak Islam masuk di Bima dan menjadi agama resmi kerajaan pada tahun 1640 M, masyarakat Sambori yang sangat patuh pada raja dan Sultan akhirnya memeluk Islam. Seluruh kepercayaan lama mereka tinggalkan. Hingga kini, 100 % warga Sambori dan sekitarnya beragama Islam. Bahkan di sebelah selatan Sambori terdapat sebuah desa yang menjadi tempat pengungsian Sultan Abdul Kahir I dan menjadi pusat penyebaran Islam di tanah Bima. Desa ini bernama Kalodu yang dulunya bernama KAMINA. Di sinilah terdapat masjid tertua dan masjid pertama yang berdiri di tanah Bima. Saat ini Masjid Kamina telah direkonstruksi oleh Pemerintah Kabupaten Bima dan menjadi bangunan Cagar Budaya untuk mengenang sejarah masuknya Islam di Tanah Bima.
Di atas desa Sambori yang berjarak sekitar 1 Km terdapat 4 buah kuburan kuno yang diyakini sebagai kuburan orang-orang yang menyiarkan agama Islam yang sering melewati lereng Sambori. Kuburan itu terletak di puncak gunung Tuki yang merupakan anak gunung Lambitu di sebelah utara atas kampung Sambori.
Tradisi Tapa Gala
Cara penyambutan Tamu di Sambori cukup unik. Jika di daerah lain umumnya mereka menabur beras kuning, tapi di Sambori memiliki tradisi Tapa Gala (Tapa berarti Tahan, Gala berarti Bambu). Tapa Gala adalah menahan dengan bambu. Dalam tradisi ini, warga Sambori menahan para tamu yang mengunjungi desanya dengan meletakan bambu muda sepanjang 3 meter atau selebar jalan yang akan dileawati. Kemudian, salah seorang tetua adat memberikan sebuah parang kepada ketua rombongan tamu dan dipersilahkan untuk memotong bambu muda tersebut. Setelah bambu terpotong, maka para tamu sudah bias memasuki kampung ( Desa).
Tradisi Tapa Gala bagi masyarakat Sambori dimaksudkan sebagai sebuah penghormatan kepada Tamu untuk memotong dan menebas segala halangan rintangan yang terjadi selama berkunjung di Sambori. Tapa Gala juga sebagai symbol kebersamaan antara pendatang dengan warga Sambori.
Dalam prosesi pernikahan juga Tapa Gala dilakukan ketika rombongan calon pengantin pria memasuki Sambori. Tetua adat dan keluarga calon pengantin wanita menahan para Tamu dengan membentangkan Bambu untuk dipotong. Sebelum pemotongan bambu, dua belah pihak sambil melempar pantun yang memikat. Selanjutnya Bambu dipotong oleh ketua rombongan untuk memasuki tempat Jambuta (Pesta).