Berikut beberapa hukum seputar puasa ramadhan secara ringkas:
a.
Tidak syah puasa wajib seperti puasa ramadhan atau qadha` ramadhan
atau puasa nadzar kecuali jika dia meniatkannya sejak dari malam hari.
Hanya saja niat itu tempatnya di hati sehingga tidak perlu
melafazhkannya.
Dalil dari hal ini adalah hadits Hafshah dan Ibnu Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
b.
Wanita haid dan nifas diharamkan berpuasa secara mutlak, akan tetapi
dia wajib menggantinya jika puasa yang dia tinggalkan itu adalah puasa
wajib.
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim no. 508)
Adapun
wanita yang mengalami istihadhah, maka dia tetap wajib berpuasa. Hal
itu karena istihadhah berbeda dengan haid dari sisi sifat dan hukum.
c.
Jika ada orang yang berniat puasa dalam keadaan junub dan dia tidak
mandi junub kecuali setelah subuh, maka puasanya syah. Sebagaimana jika
wanita haid suci sesaat sebelum subuh lalu dia berniat puasa dan dia
mandi setelah masuknya subuh, maka dia syah berpuasa.
Dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:
إِنْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ
جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati waktu Subuh dalam
keadaan junud karena jima’, bukan karena mimpi di bulan Ramadhan,
kemudian beliau tetapi berpuasa.” (HR. Al-Bukhari no. 1796 dan Muslim no. 1867)
d.
Lelaki dan wanita tua yang sudah berat untuk berpuasa, maka mereka
tidak wajib untuk berpuasa, demikian halnya orang sakit yang
penyakitnya tidak mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Mereka boleh
berbuka akan tetapi mereka wajib menggantinya dengan fidyah, yaitu
memberi makan 1 orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, dan mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu
Abbas radhiallahu anhu menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini turun
memberikan keringanan kepada lelaki dan wanita tua yang tidak kuat
berpuasa, maka keduanya memberikan makan setiap hari kepada 1 orang
miskin.”
Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin
Malik radhiallahu anhu bahwa beliau lemah untuk berpuasa setahun
sebelum wafat, maka beliau berbuka dan memerintahkan keluarganya untuk
memberi makan 1 orang miskin setiap hari.
e. Adapun orang yang sakit, maka:
•
Jika sakitnya ringan atau masih ada kemungkinan sembuh, maka dia boleh
berbuka tapi dia wajib menggantinya di hari yang lain. Allah Ta’ala
berfirman:
ومن كان مريضا أو على سفر فعُدة من أيام اُخر
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
• Jika
sakitnya tidak ada kemungkinan sembuh maka dia sejak awal sudah wajib
membayar fidyah, berdasarkan pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di
atas.
• Jika penyakitnya datang tiba-tiba dan berlanjut hingga
dia meninggal maka tidak ada kewajiban apa-apa pada keluarganya, tidan
fidyah dan tidak pula qadha.
f. Disunnahkan bagi orang yang ingin berpuasa untuk makan sahur.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah.” (HR. Al-Bukhari no. 1789 dan Muslim no. 1835)
g. Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur mendekati azan subuh.
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma dia berkata:
تَسَحَّرْنَا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى
الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ
قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Kami pernah makan sahur
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk
melakanakan shalat. Aku bertanya: “Berapa antara adzan (Shubuh) dan
sahur?”. Dia menjawab: “Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1787)
h. Disunnahkan bersahur dengan memakan korma atau meminum air putih.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik (makanan) sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Daud no. 1998)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّحُورُ
أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ
جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
“Makan sahur itu
berkah, maka janganlah kalian tinggalkan meskipun salah seorang dari
kalian hanya minum seteguk air, karena sesungguhnya Allah ‘azza wajalla
dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan
sahur.” (HR. Ahmad no. 10664)
i. Sebaliknya dengan berbuka puasa, maka dia dianjurkan untuk disegerakan setelah terbenamnya matahari.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari no. 1821 dan Muslim no. 1838)
j.
Disunnahkan berbuka dengan memakan ruthob sebelum melaksanakan shalat
maghrib, kalau tidak ada maka dengan korma, kalau tidak ada maka dengan
meminum air.
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى
رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى
تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berbuka dengan beberapa ruthab
(kurma yang belum masak) sebelum melakukan shalat, jika tidak dengan
air maka dengan beberapa kurma, dan apabila tidak ada kurma maka beliau
meneguk air beberapa kali.” (HR. Abu Daud no. 2009 dan At-Tirmizi no. 632)
disadur dari : http://al-atsariyyah.com/beberapa-hukum-seputar-puasa-ramadhan.html