Kebanyakan manusia melihat orang-orang miskin dan lemah adalah orang-orang yang tidak berdaya atau bahkan dianggap tidak terhormat. Ini adalah pandangan yang bukan hanya salah tetapi juga merupakan cerminan dari keburukan akhlak dan kerendahan moral. Memuliakan orang miskin dan menghargai orang lemah adalah wujud dari tingginya kualitas kedewasaan dan kematangan moral seseorang.
Tetapi siapa yang tahu bahwa sesungguhnya orang-orang lemah justru merupakan sebab utama kemenangan dan kejayaan suatu bangsa? Siapa yang mengira bahwa orang-orang lemahlah yang menjadi tulang punggung kesejahteraan dan keunggulan sebuah masyarakat? Ini mungkin sangat aneh bagi logika umum. Tetapi itulah kenyataan tersembunyi yang disingkap oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا
بِضُعَفَائِكُمْ. رواه البخاري
“Dari Mush’ab bin Sa’d beliau berkata bahwa Sa’d r.a. merasa dirinya berjasa atas orang-orang di bawahnya. Maka Nabi berkata kepadanya, “Bukankah kalian tidak mendapatkan rezki dan pertolongan melainkan karena orang-orang lemah dari kalian?” (HR al-Bukhari)
عَنْ أَبَي الدَّرْدَاءِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ. رواه أبو داود والترمذي
Dari Abu Darda r.a beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepadaku orang-orang lemah, karena sesungguhnya kalian mendapat rezeki dan pertolongan dikarenakan orang-orang lemah kalian.” (HR Abu Daud and at-Turmudzi)
Nabi Besar Muhammad SAW mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkan peran orang-orang kecil. Pada kenyataannya orang-orang yang dianggap lemah sebenarnya memiliki peran besar dan tidak dapat dikesampingkan, dan bahkan tidak dapat digantikan oleh orang-orang yang secara lahir terlihat lebih berdaya.
Dalam riwayat lain hadits Nabi secara lebih tegas menjelaskan peranan orang-orang lemah dalam kejayaan umat.
إنما تنصر هذه الامة بضعفائها بدعواتهم وصلاتهم وإخلاصهم.
“Hanyalah umat ini dimenangkan dengan orang-orang dhuafa’nya, dengan doa-doa mereka, sholat mereka dan keikhlasan mereka.” (Kanzul Ummal no. 6017)
Kemenangan umat bukan hanya dikarenakan faktor-faktor materi. Perang Badar misalnya justru dimenangkan umat Islam di kala jumlah mereka kurang dari sepertiga jumlah pasukan musuh. Pasukan Thariq bin Ziyad yang cuma berjumlah 12 ribu pasukan dapat menaklukan tentara Spanyol yang berjumlah 60 ribu. Demikian pula peperangan-peperangan lain. Ketika keikhlasan orang-orang yang tampak lemah dan doa-doa orang miskin dengan tulus mengharapkan kemenangan bagi para pimpinan mereka, Allah yang Maha Kuasa akan menurunkan pertolongan-Nya.
Bukan berarti Islam mengajarkan bahwa kekuatan fisik boleh diabaikan. Sama sekali tidak. Dalam surat al-Anfal ayat 60 secara tegas, Allah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala jenis bentuk kekuatan untuk menghadapi ancaman musuh. Dan Nabi Muhammad juga bersabda bahwa mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah. Tetapi itu semua bukan berarti bahwa orang-orang yang lemah dapat disepelekan peranannya.
Perhitungan inilah yang membuat Qutaibah bin Muslim, panglima perang yang menaklukkan seluruh wilayah Asia Tengah dan Asia Selatan, begitu menghargai Muhammad bin Wasi’, seorang alim yang sangat dikenal dangan ketakwaan dan wara’-nya. Setiap memulai perang beliau bertanya kepada para pendampingnya, “Di mana Muhammad bin Wasi’?” Dijawab beliau sedang sholat di tempat tersendiri. Qutaibah berkata, “Demi Allah, jari Muhammad bin Wasi’ yang khusyu’ berdoa lebih penting bagi saya dibanding seratus ribu pasukan.”
Orang miskin yang jauh dari sorotan biasanya lebih memiliki keikhlasan dan kerendahan hati. Orang-orang yang kuat, atau kaya, atau populer hati mereka lebih mudah terjangkiti penyakit riya’, sombong dan tinggi hati. Jika dalam sebuah masyarakat lapisan elitnya berlaku jumawa dan menindas orang-orang kecil, maka Allah akan menghinakan masyarakat tersebut.
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyaberlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra: 16)
Hukum Keseimbangan
Prinsip menghargai orang lemah bukan hanya berakar pada nilai moral dan akhlak, tetapi juga bersandar pada hukum alam yang selalu berpihak pada keseimbangan. Apa pun yang berlebihan dari kadar yang wajar selalu mengakibatkan kerusakan. Kekuatan yang berlebihan, di mana hak-hak orang lemah tergilas, mesti berakibat pada hancurnya kekuatan itu sendiri, cepat atau lambat. Sejarah selalu memperlihatkan diktatorisme selalu berujung pada hancurnya rejim diktator dengan berbagai cara, mulai dari tenggelamnya Fir’aun sampai pada luluh lantaknya Hitler beserta Nazinya. Atas dasar itulah Ibnu Taimiyah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meskipun negara itu kafir. Dan Allah tidak akan membela negara yang zhalim, meskipun itu negara Islam.”
Perhatian terhadap orang lemah sangat berpengaruh pada soliditas sebuah bangsa. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Amr bin Ash menyebutkan sifat-sifat bangsa Romawi yang positif, beliau berkata,
إِنَّ فِيهِمْ (أي الروم) لَخِصَالًا أَرْبَعًا إِنَّهُمْ لَأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ
“Mereka (bangsa Romawi) memiliki empat sifat: paling dapat mengendalikan diri dalam fitnah (cobaan), paling cepat bangkit setelah menghadapi musibah, paling segera menyerang balik setelah kalah, dan paling baik terhadap orang miskin, yatim dan lemah. Lalu sifat kelima yang baik dan indah adalah mereka paling resisten terhadap kezhaliman raja-raja”
Amr bin Ash adalah sahabat Nabi yang ahli politik dan stretegi, meskipun beliau berhasil mengalahkan tentara Romawi di semua peperangan baik di Syam maupun Mesir, beliau mengetahui persis kelebihan musuhnya. Dan dalam konteks ini beliau menyebutkan bahwa sikap bangsa Romawi terhadap orang lemah yang relatif lebih baik dibanding bangsa lain adalah salah satu dari beberapa sebab survive-nya mereka, terutama dibanding dengan bangsa Persia yang cenderung lebih tirani.
Bukan hanya di dunia politik dan militer, keberpihakan dan perhatian terhadap orang lemah juga sangat vital dalam keseimbangan dunia ekonomi. Ketidakseimbangan distribusi kekayaan pada akhirnya akan melahirkan bencana ekonomi bagi semua. Krisis ekonomi dunia yang terjadi belakang ini sebenarnya bersumber dari hilangnya keseimbangan ini. Dipicu oleh rakusnya para kapitalis yang tidak mempedulikan kemampuan nasabah layanan kredit perumahan di AS, ekonomi liberal dunia akhirnya dipaksa untuk mengakui bahwa negara-negara kaya dan korporasi-korporasi besar tidak mungkin hidup tanpa bantuan pihak lain yang selama ini mereka anggap lemah. Hanya saja yang disayangkan sampai sekarang, belum ada langkah konkret untuk memberikan dukungan langsung bagi lapisan bawah untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi global. Dunia masih menantikan entitas ekonomi yang memberikan penghargaan yang pantas terhadap orang-orang lemah.
Betapa pun seseorang memiliki pundi-pundi uang tetap saja harga uang ditentukan oleh tingkat permintaan dan kebutuhan orang terhadap uang. Jika tidak ada yang membutuhkan uang, tidak ada harga bagi uang itu. Jadi harga kekayaan sesungguhnya ditentukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kekayaan. Demikian juga kekuasaan, nilai sebuah kekuasaan sebenarnya ditentukan oleh sejauh mana kekuasaan itu dibutuhkan oleh orang lain yang tidak memilikinya.
Jadi, orang kuat menjadi bernilai karena adanya orang lemah. Orang kaya hanya berharga jika ada yang miskin. Sebagaimana produsen hanya survive jika ada konsumen, dan penjual hanya bisa hidup jika ada pembeli.
Yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ekonomi liberal adalah bahwa mekanisme pasar yang rakus dan terlalu bebas, membuat aliran uang dengan mudah berputar di kalangan elit, yang secara otomatis menimbulkan inflasi berkala yang tidak mampu dikejar oleh penghasilan orang-orang lemah. Pada stadium di mana kebutuhan produksi tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat umum, sementara mekanisme penyerapan kekayaan ke lapisan bawah tersendat, maka secara otomatis roda ekonomi makro mesti macet. Ekonomi kapitalis tidak mengenal santunan terhadap orang lemah. Padahal seandainya pemerintah AS, misalnya, alih-alih menurunkan bail out ataustimulus kepada korporasi besar yang berkali-kali macet, mereka memberikan subsidi kepada masyarakat luas yang membutuhkan, sehingga krisis demandbisa diatasi secara lebih sederhana. Tetapi otak kapitalis memang buta terhadap hak-hak orang lemah. Tuhan mereka adalah mekanisme pasar yang mereka anggap maha sempurna. Kitab suci mereka adalah persaingan bebas yang mereka yakini maha adil.
Memberikan santunan bagi orang lemah pada hakekatnya adalah menjaga keseimbangan global kehidupan manusia. Karena itu Islam menjadikan zakat dan infaq untuk lapisan bawah sebagai kewajiban bukan cuma anjuran. Karena ekonomi sebagai sistem akan rusak jika terjadi penumpukan kekayaan pada pihak-pihak tertentu.
Kenyataan empirik yang ada di seluruh dunia adalah bahwa golongan ekonomi lemah selalu lebih banyak jumlahnya dari pada kelas atas. Ketika lapisan yang besar jumlahnya ini tidak diberdayakan atau bahkan dimarginalkan, yang akan muncul jelas adalah bangsa yang lemah. Angka pendapatan per kapita yang tidak berdasar atas penyebaran yang seimbang bukanlah cerminan kekuatan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang sebagian besar individunya berdaya guna meskipun tidak kaya raya. Bukan bangsa yang kekayaannya bertumpuk di sebagian kecil orang.
Prinsip ekonomi kapitalis yang beranggapan bahwa mekanisme pasar bebas menjamin penyebaran kekayaan akan secara terbagi secara fair berdasarkan kapasitas dan kualitas usaha, tidak sepenuhnya benar. Kita menyaksikan betapa banyak orang-orang yang bekerja dengan baik siang malam tetapi penghasilannya yang sangat minim[1]. Sementara banyak kalangan yang tanpa usaha berarti mendapatkan jutaan bahkan milyaran rupiah di kantongnya. Kekayaan pada hakekatnya bukan semata hasil jerih payah manusia, tetapi adalah amanat. (Meskipun tidak diingkari adanya kaitan antara hasil di dunia dengan usaha manusia). Allah SWT membagikan kekayaan di dunia ini bukan balasan sebenarnya atas usaha. Karena balasan yang sebenarnya adalah di akhirat. Kekayaan Allah berikan sebagai amanat untuk digunakan dan didistribusikan sesuai ketentuan syari’atnya.
Allah berfirman,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah amanatkan kepadamu. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS al-Hadid: 7)
Bahkan di Hari Akhir nanti, kekayaan bukan merupakan standar kesuksesan, tetapi justru item yang harus dipertanggungjawabkan.
لا تَزُولُ قَدِمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: عَنْ عُمُرُهِ فِيمَا أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ عَلِمهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟
“Tidak bergeser kaki seorang hamba di Hari Kiamat sampai dimintai pertanggungjawaban tentang empat hal; tentang umurnya, dihabiskan untuk apa? Tentang masa mudanya, digunakan untuk apa? Tentang hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa disalurkan? Tentang ilmunya, apa yang diamalkannya?” (HR at-Tirmidzi, at-Thabrani dan al-Baihaqi)
Inpredictable Power
Kekuatan fisik dan keunggulan materi memang tidak boleh diabaikan sama sekali, bahkan kewajiban seluruh umat Islam untuk menjadi lebih berdaya secara fisik dan materi. Tetapi fisik dan materi bukanlah satu-satunya kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan sebuah bangsa. Kekuatan non materi adalah kekuatan dahsyat yang mesti diperhitungkan.
Popularitas memang tidak selalu berarti riya’ dan tinggi hati. Tetapi akar keikhlasan yang tertancap dalam pada hati orang-orang lemah jauh lebih mudah bertahan dibandingkan keikhlasan yang terus diterpa angin ketenaran dan tererosi dengan bisikan-bisikan nafsu. Orang-orang kuat hanyalah menjadi mulia jika mereka memuliakan orang lemah. Orang-orang kaya tidak akan mendapat cinta Allah jika tidak menyantuni orang-orang yang tidak berdaya.
Ketinggian derajat seseorang selalu berbanding lurus dengan kerendahan hatinya. Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Tidaklah sedekah mengurangi harta. Dan Allah tidak menambah bagi seorang hamba dengan memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah kecuali Allah angkat derajatanya.” (HR Muslim)
وفي رواية لأحمد: مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي عِلِّيِّينَ وَمَنْ تَكَبَّرَ عَلَى اللَّهِ دَرَجَةً وَضَعَهُ اللَّهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي أَسْفَلِ السَّافِلِينَ
Dalam riwayat Imam Ahmad: “Barang siapa yang merendah karena Allah satu derajat, Allah angkat dia satu derajat sampai Allah letakkan dia di Iliyyin (tempat mulia di surga). Dan barang siapa yang takabur terhadap Allah satu derajat, Allah rendahkan dia satu derajat, sampai Allah jadikan di tempat terendah.”
Parameter kemuliaan dan status seseorang di masyarakat memang terlalu memandang materi dan penampilan lebih dari harga sesungguhnya. Kebanyakan orang lebih cenderung memuliakan seseorang dilihat dari “harga bandrol” yang terlihat dari penampilan luarnya. Sedikit sekali orang yang mampu memberikan penghargaan terhadap kebersihan hati dan ketinggian akhlak.
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang bersama para sahabat, berlalulah seseorang di hadapan mereka. Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Apa pendapat kalian tentang orang itu?”Mereka menjawab, “Orang itu pantas diterima lamarannya jika melamar, jika berkata perkataannya pasti didengar, dan jika memberi syafaat (rekomendasi), syafaatnya pasti diterima.” Kemudian beliau diam sejenak. Lalu, lewatlah orang lain di hadapan mereka. Rasulullah SAW bertanya lagi kepada para sahabat,“Apa pendapat kalian tentang orang itu?” Para sahabat menjawab, “Orang itu jika melamar, pasti ditolak lamarannya. Jika berkata, tidak didengar perkataannya. Jika memberi syafaat tidak diterima syafaatnya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Orang (yang kedua) ini lebih baik dari pada sepenuh bumi orang (yang pertama) tadi.”
Ya, seringkali kita terkecoh dengan gaya dan penampilan. Kita terlalu sering menilai orang dari kulit luarnya bukan isinya. Padahal jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik dan bentuk kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Sumber, klik disini
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا
بِضُعَفَائِكُمْ. رواه البخاري
“Dari Mush’ab bin Sa’d beliau berkata bahwa Sa’d r.a. merasa dirinya berjasa atas orang-orang di bawahnya. Maka Nabi berkata kepadanya, “Bukankah kalian tidak mendapatkan rezki dan pertolongan melainkan karena orang-orang lemah dari kalian?” (HR al-Bukhari)
عَنْ أَبَي الدَّرْدَاءِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ. رواه أبو داود والترمذي
Dari Abu Darda r.a beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepadaku orang-orang lemah, karena sesungguhnya kalian mendapat rezeki dan pertolongan dikarenakan orang-orang lemah kalian.” (HR Abu Daud and at-Turmudzi)
Nabi Besar Muhammad SAW mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh meremehkan peran orang-orang kecil. Pada kenyataannya orang-orang yang dianggap lemah sebenarnya memiliki peran besar dan tidak dapat dikesampingkan, dan bahkan tidak dapat digantikan oleh orang-orang yang secara lahir terlihat lebih berdaya.
Dalam riwayat lain hadits Nabi secara lebih tegas menjelaskan peranan orang-orang lemah dalam kejayaan umat.
إنما تنصر هذه الامة بضعفائها بدعواتهم وصلاتهم وإخلاصهم.
“Hanyalah umat ini dimenangkan dengan orang-orang dhuafa’nya, dengan doa-doa mereka, sholat mereka dan keikhlasan mereka.” (Kanzul Ummal no. 6017)
Kemenangan umat bukan hanya dikarenakan faktor-faktor materi. Perang Badar misalnya justru dimenangkan umat Islam di kala jumlah mereka kurang dari sepertiga jumlah pasukan musuh. Pasukan Thariq bin Ziyad yang cuma berjumlah 12 ribu pasukan dapat menaklukan tentara Spanyol yang berjumlah 60 ribu. Demikian pula peperangan-peperangan lain. Ketika keikhlasan orang-orang yang tampak lemah dan doa-doa orang miskin dengan tulus mengharapkan kemenangan bagi para pimpinan mereka, Allah yang Maha Kuasa akan menurunkan pertolongan-Nya.
Bukan berarti Islam mengajarkan bahwa kekuatan fisik boleh diabaikan. Sama sekali tidak. Dalam surat al-Anfal ayat 60 secara tegas, Allah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan segala jenis bentuk kekuatan untuk menghadapi ancaman musuh. Dan Nabi Muhammad juga bersabda bahwa mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibanding mukmin yang lemah. Tetapi itu semua bukan berarti bahwa orang-orang yang lemah dapat disepelekan peranannya.
Perhitungan inilah yang membuat Qutaibah bin Muslim, panglima perang yang menaklukkan seluruh wilayah Asia Tengah dan Asia Selatan, begitu menghargai Muhammad bin Wasi’, seorang alim yang sangat dikenal dangan ketakwaan dan wara’-nya. Setiap memulai perang beliau bertanya kepada para pendampingnya, “Di mana Muhammad bin Wasi’?” Dijawab beliau sedang sholat di tempat tersendiri. Qutaibah berkata, “Demi Allah, jari Muhammad bin Wasi’ yang khusyu’ berdoa lebih penting bagi saya dibanding seratus ribu pasukan.”
Orang miskin yang jauh dari sorotan biasanya lebih memiliki keikhlasan dan kerendahan hati. Orang-orang yang kuat, atau kaya, atau populer hati mereka lebih mudah terjangkiti penyakit riya’, sombong dan tinggi hati. Jika dalam sebuah masyarakat lapisan elitnya berlaku jumawa dan menindas orang-orang kecil, maka Allah akan menghinakan masyarakat tersebut.
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyaberlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra: 16)
Hukum Keseimbangan
Prinsip menghargai orang lemah bukan hanya berakar pada nilai moral dan akhlak, tetapi juga bersandar pada hukum alam yang selalu berpihak pada keseimbangan. Apa pun yang berlebihan dari kadar yang wajar selalu mengakibatkan kerusakan. Kekuatan yang berlebihan, di mana hak-hak orang lemah tergilas, mesti berakibat pada hancurnya kekuatan itu sendiri, cepat atau lambat. Sejarah selalu memperlihatkan diktatorisme selalu berujung pada hancurnya rejim diktator dengan berbagai cara, mulai dari tenggelamnya Fir’aun sampai pada luluh lantaknya Hitler beserta Nazinya. Atas dasar itulah Ibnu Taimiyah berkata, “Allah akan menolong negara yang adil, meskipun negara itu kafir. Dan Allah tidak akan membela negara yang zhalim, meskipun itu negara Islam.”
Perhatian terhadap orang lemah sangat berpengaruh pada soliditas sebuah bangsa. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Amr bin Ash menyebutkan sifat-sifat bangsa Romawi yang positif, beliau berkata,
إِنَّ فِيهِمْ (أي الروم) لَخِصَالًا أَرْبَعًا إِنَّهُمْ لَأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ
“Mereka (bangsa Romawi) memiliki empat sifat: paling dapat mengendalikan diri dalam fitnah (cobaan), paling cepat bangkit setelah menghadapi musibah, paling segera menyerang balik setelah kalah, dan paling baik terhadap orang miskin, yatim dan lemah. Lalu sifat kelima yang baik dan indah adalah mereka paling resisten terhadap kezhaliman raja-raja”
Amr bin Ash adalah sahabat Nabi yang ahli politik dan stretegi, meskipun beliau berhasil mengalahkan tentara Romawi di semua peperangan baik di Syam maupun Mesir, beliau mengetahui persis kelebihan musuhnya. Dan dalam konteks ini beliau menyebutkan bahwa sikap bangsa Romawi terhadap orang lemah yang relatif lebih baik dibanding bangsa lain adalah salah satu dari beberapa sebab survive-nya mereka, terutama dibanding dengan bangsa Persia yang cenderung lebih tirani.
Bukan hanya di dunia politik dan militer, keberpihakan dan perhatian terhadap orang lemah juga sangat vital dalam keseimbangan dunia ekonomi. Ketidakseimbangan distribusi kekayaan pada akhirnya akan melahirkan bencana ekonomi bagi semua. Krisis ekonomi dunia yang terjadi belakang ini sebenarnya bersumber dari hilangnya keseimbangan ini. Dipicu oleh rakusnya para kapitalis yang tidak mempedulikan kemampuan nasabah layanan kredit perumahan di AS, ekonomi liberal dunia akhirnya dipaksa untuk mengakui bahwa negara-negara kaya dan korporasi-korporasi besar tidak mungkin hidup tanpa bantuan pihak lain yang selama ini mereka anggap lemah. Hanya saja yang disayangkan sampai sekarang, belum ada langkah konkret untuk memberikan dukungan langsung bagi lapisan bawah untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi global. Dunia masih menantikan entitas ekonomi yang memberikan penghargaan yang pantas terhadap orang-orang lemah.
Betapa pun seseorang memiliki pundi-pundi uang tetap saja harga uang ditentukan oleh tingkat permintaan dan kebutuhan orang terhadap uang. Jika tidak ada yang membutuhkan uang, tidak ada harga bagi uang itu. Jadi harga kekayaan sesungguhnya ditentukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kekayaan. Demikian juga kekuasaan, nilai sebuah kekuasaan sebenarnya ditentukan oleh sejauh mana kekuasaan itu dibutuhkan oleh orang lain yang tidak memilikinya.
Jadi, orang kuat menjadi bernilai karena adanya orang lemah. Orang kaya hanya berharga jika ada yang miskin. Sebagaimana produsen hanya survive jika ada konsumen, dan penjual hanya bisa hidup jika ada pembeli.
Yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ekonomi liberal adalah bahwa mekanisme pasar yang rakus dan terlalu bebas, membuat aliran uang dengan mudah berputar di kalangan elit, yang secara otomatis menimbulkan inflasi berkala yang tidak mampu dikejar oleh penghasilan orang-orang lemah. Pada stadium di mana kebutuhan produksi tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat umum, sementara mekanisme penyerapan kekayaan ke lapisan bawah tersendat, maka secara otomatis roda ekonomi makro mesti macet. Ekonomi kapitalis tidak mengenal santunan terhadap orang lemah. Padahal seandainya pemerintah AS, misalnya, alih-alih menurunkan bail out ataustimulus kepada korporasi besar yang berkali-kali macet, mereka memberikan subsidi kepada masyarakat luas yang membutuhkan, sehingga krisis demandbisa diatasi secara lebih sederhana. Tetapi otak kapitalis memang buta terhadap hak-hak orang lemah. Tuhan mereka adalah mekanisme pasar yang mereka anggap maha sempurna. Kitab suci mereka adalah persaingan bebas yang mereka yakini maha adil.
Memberikan santunan bagi orang lemah pada hakekatnya adalah menjaga keseimbangan global kehidupan manusia. Karena itu Islam menjadikan zakat dan infaq untuk lapisan bawah sebagai kewajiban bukan cuma anjuran. Karena ekonomi sebagai sistem akan rusak jika terjadi penumpukan kekayaan pada pihak-pihak tertentu.
Kenyataan empirik yang ada di seluruh dunia adalah bahwa golongan ekonomi lemah selalu lebih banyak jumlahnya dari pada kelas atas. Ketika lapisan yang besar jumlahnya ini tidak diberdayakan atau bahkan dimarginalkan, yang akan muncul jelas adalah bangsa yang lemah. Angka pendapatan per kapita yang tidak berdasar atas penyebaran yang seimbang bukanlah cerminan kekuatan bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang sebagian besar individunya berdaya guna meskipun tidak kaya raya. Bukan bangsa yang kekayaannya bertumpuk di sebagian kecil orang.
Prinsip ekonomi kapitalis yang beranggapan bahwa mekanisme pasar bebas menjamin penyebaran kekayaan akan secara terbagi secara fair berdasarkan kapasitas dan kualitas usaha, tidak sepenuhnya benar. Kita menyaksikan betapa banyak orang-orang yang bekerja dengan baik siang malam tetapi penghasilannya yang sangat minim[1]. Sementara banyak kalangan yang tanpa usaha berarti mendapatkan jutaan bahkan milyaran rupiah di kantongnya. Kekayaan pada hakekatnya bukan semata hasil jerih payah manusia, tetapi adalah amanat. (Meskipun tidak diingkari adanya kaitan antara hasil di dunia dengan usaha manusia). Allah SWT membagikan kekayaan di dunia ini bukan balasan sebenarnya atas usaha. Karena balasan yang sebenarnya adalah di akhirat. Kekayaan Allah berikan sebagai amanat untuk digunakan dan didistribusikan sesuai ketentuan syari’atnya.
Allah berfirman,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah amanatkan kepadamu. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS al-Hadid: 7)
Bahkan di Hari Akhir nanti, kekayaan bukan merupakan standar kesuksesan, tetapi justru item yang harus dipertanggungjawabkan.
لا تَزُولُ قَدِمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: عَنْ عُمُرُهِ فِيمَا أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ عَلِمهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟
“Tidak bergeser kaki seorang hamba di Hari Kiamat sampai dimintai pertanggungjawaban tentang empat hal; tentang umurnya, dihabiskan untuk apa? Tentang masa mudanya, digunakan untuk apa? Tentang hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa disalurkan? Tentang ilmunya, apa yang diamalkannya?” (HR at-Tirmidzi, at-Thabrani dan al-Baihaqi)
Inpredictable Power
Kekuatan fisik dan keunggulan materi memang tidak boleh diabaikan sama sekali, bahkan kewajiban seluruh umat Islam untuk menjadi lebih berdaya secara fisik dan materi. Tetapi fisik dan materi bukanlah satu-satunya kekuatan yang diperlukan untuk kemajuan sebuah bangsa. Kekuatan non materi adalah kekuatan dahsyat yang mesti diperhitungkan.
Popularitas memang tidak selalu berarti riya’ dan tinggi hati. Tetapi akar keikhlasan yang tertancap dalam pada hati orang-orang lemah jauh lebih mudah bertahan dibandingkan keikhlasan yang terus diterpa angin ketenaran dan tererosi dengan bisikan-bisikan nafsu. Orang-orang kuat hanyalah menjadi mulia jika mereka memuliakan orang lemah. Orang-orang kaya tidak akan mendapat cinta Allah jika tidak menyantuni orang-orang yang tidak berdaya.
Ketinggian derajat seseorang selalu berbanding lurus dengan kerendahan hatinya. Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Tidaklah sedekah mengurangi harta. Dan Allah tidak menambah bagi seorang hamba dengan memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah kecuali Allah angkat derajatanya.” (HR Muslim)
وفي رواية لأحمد: مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي عِلِّيِّينَ وَمَنْ تَكَبَّرَ عَلَى اللَّهِ دَرَجَةً وَضَعَهُ اللَّهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي أَسْفَلِ السَّافِلِينَ
Dalam riwayat Imam Ahmad: “Barang siapa yang merendah karena Allah satu derajat, Allah angkat dia satu derajat sampai Allah letakkan dia di Iliyyin (tempat mulia di surga). Dan barang siapa yang takabur terhadap Allah satu derajat, Allah rendahkan dia satu derajat, sampai Allah jadikan di tempat terendah.”
Parameter kemuliaan dan status seseorang di masyarakat memang terlalu memandang materi dan penampilan lebih dari harga sesungguhnya. Kebanyakan orang lebih cenderung memuliakan seseorang dilihat dari “harga bandrol” yang terlihat dari penampilan luarnya. Sedikit sekali orang yang mampu memberikan penghargaan terhadap kebersihan hati dan ketinggian akhlak.
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang bersama para sahabat, berlalulah seseorang di hadapan mereka. Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Apa pendapat kalian tentang orang itu?”Mereka menjawab, “Orang itu pantas diterima lamarannya jika melamar, jika berkata perkataannya pasti didengar, dan jika memberi syafaat (rekomendasi), syafaatnya pasti diterima.” Kemudian beliau diam sejenak. Lalu, lewatlah orang lain di hadapan mereka. Rasulullah SAW bertanya lagi kepada para sahabat,“Apa pendapat kalian tentang orang itu?” Para sahabat menjawab, “Orang itu jika melamar, pasti ditolak lamarannya. Jika berkata, tidak didengar perkataannya. Jika memberi syafaat tidak diterima syafaatnya.” Lalu Rasulullah SAW berkata, “Orang (yang kedua) ini lebih baik dari pada sepenuh bumi orang (yang pertama) tadi.”
Ya, seringkali kita terkecoh dengan gaya dan penampilan. Kita terlalu sering menilai orang dari kulit luarnya bukan isinya. Padahal jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik dan bentuk kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Sumber, klik disini
0 Komentar:
Post a Comment
Hal penting saat berkomentar :
1. Baca artikelnya, lalu beri komentar yang sesuai dengan tema.
2. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda....