Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan atau pengadaan peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat merupakan salah satu unsur budaya.
Ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin diperoleh dari warisan leluhur tanpa melalui pendidikan formal. Bermodalkan ketrampilan yang dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis barang walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan, mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam, Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.
Kerajinan tradisional Sambori kaya dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Sambori harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama kerajinan tradisional Sambori akan dilupakan oleh masyarakat pemiliknya.
Hampir 80 porsen kerajinan Sambori menggunakan Daun lontar, baik lontar yang berdaun lebar maupun berdaun kecil. Karena pohon lontar banyak ditemukan tumbuh secara liar di sekitar Sambori dan sekitarnya. Leluhur orang Sambori memang cukup arif melihat peluang di pelupuk mata. Pohon pandan terus dikembangkan untuk menunjang proses kreatifitas kerajinan warga sambori dari masa ke masa.
Ada lebih dari 10 jenis kerajinan anyaman yang dihasilkan dari tangan dingin perempuan-perempuan Sambori. Kerajinan itu yaitu, Waku (Lupe), sejenis payung tradisional Sambori, Saduku, Kula, Kula Baku,Kaleru, Tare(Nampan), Dipi (Tikar), Wonca, Doku, Sarau dan Sadopa.
1. Waku (Lupe) Payung Tradisional Sambori
Orang-orang Sambori menyebut Waku. Tapi orang-orang di Bima menyebutnya Lupe. Waku berbentuk lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Waku adalah Jas Hujan Tradisional masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di wilayah Donggo Ele yang meliputi Kuta, Teta, Sambori, dan Kaboro. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Waku sangat cocok bagi petani peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan luas.
Untuk membuat Waku dibutuhkan 8 helai daun pandan berdaun lebar dengan ukuran panjang 2,5 sampai 3 meter. Untuk mengeratkan sambungan tiap helai daun pandan diikit dengan tali dari ijuk (Lidi). Cara membuat Waku tidaklah terlalu sulit bagi masyarakat Sambori. Daun Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan daun pandan yang lainnya dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Waku yang menyerupai Topi atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Waku sampai menghasilkan anyaman Waku yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi diri dari hujan dan terik matahari. Waku sangat unik. Ini adalah sebuah warisan leluhur masyarakat Sambori yang perlu dilestarikan keberadaanya. Waku dan komoditi lainnya dari desa ini sangat berpotensi sebagai salah satu souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan menggairahkan para pengrajin di wilayah ini untuk memproduksi Waku (Lupe) dan kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka.
2. Saduku
Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Saduku adalah tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-orang Sambori ke kebun atau ke ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku. Ukuran Saduku juga bermacam-macam, ada yang kecil dan ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25 cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang. Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi.
Bahan dasar pembuatan Saduku adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Proses pembuatannya melalui perendaman sekitar 2 jam kemudian dijemur. Lalu pada sore hari hingga malam hari kaum perempuan menganyam saduku secara bersama-sama. Dalam satu hari, warga Sambori mampu menghasilkan 3 sampai 5 Saduku, jika tidak ada kesibukan lain seperti menanam atau bekerja di sawah.
Menurut pengalaman orang-orang Sambori, Saduku yang kuat dan tahan lama sadalah Saduku yang dianyam dari serat Laju. Laju adalah pohon jenis palma, tetapi pohonnya tidak tinggi seperti Fu’u Ta’a (Pohon Lontar) dan Ni’u (Nyiur). Pohon ini banyak terdapat di lahan-lahan kering dan dataran tinggi sekitar Sambori. Daunnya berserat dan kuat tidak mudah putus atau terpotong. Dari Ro’o Laju dibuat dua jenis wadah untuk menyimpan kacang hijau, kadele atau jagung dan beras. Bentuknya bulat panjang seperti kantung, dengan ukuran 25 kilogram. Berdasarkan ukurannya, jenis wadah Dari Ro’o Laju terdiri dari dua jenis, yaitu yang besar bernama Balase dan yang kecil disebut Saduku/ Sanduru.
3. Kula
Kula adalah Wadah untuk menyimpan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari. Fungsinya bermacam-macam. Ada Kula Lo’i (Kula Obat) Kula tempat menyimpan segala jenis ramuan obat tradisional, pada umunya berbentuk segi empat yang dibagi dalam beberapa kotak kecil. Kula Mama Kula untuk menyimpan sirih, pinang dan kapur sirih. Dan Kula Bongi (Kula Beras), Kula untuk menyimpan beras
Bentuknya bersegi empat dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Bahan utama pembuatan Kula adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Biasanya Kula disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula.
4. Kula Baku
Hampir sama dengan Kula, hanya saja ukuran Kula Baku lebih kecil daripada Kula. Hasil anyaman ini berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kula Baku juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula Baku.
5. Kaleru
Hampir sama dengan anyaman lainnya, Kaleru juga berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kaleru juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kaleru. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kaleru.
6. Dipi Fanda (Tikar Pandan)
Dipi berarti tikar. Sedangkan Fanda adalah pandan. Jadi Dipi Fanda adalah tikar pandan. Membuat tikar pandan adalah tradisi turun temurun masyarakat Sambori. Seorang anak perempuan harus memiliki keahlian dalam menganyam tikar pandan. Hampir setiap rumah di Sambori, selalu ditemui orang-orang yang menganyam tikar. Anyaman tikar pandan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, pamaco (sumbangan untuk hajatan keluarga), dan selebihnya untuk dipasarkan keluar Sambori.
Proses membuat tikar pandan, dimulai dengan pengambilan daun pandan yang berduri. Kemudian, daun dipotong dengan alat penjangat. Lalu, daun direbus dengan air hujan atau air sungai agar warna pandan berganti menjadi putih. Setelah direbus, daun dijemur agar daun benar-benar kering. Setelah kering, daun pandan diluruskan agar pengerjaan pada saat menganyam mudah dilakukan. Dalam satu minggu, perempuan Sambori bisa mengerjakan tikar pandan sebanyak 4 buah. Pekerjaan ini harus benar-benar yang sudah ahli. Untuk mendapatkan ukuran tikar yang besar, harus pandai menyambungnya.
7. Wonca (Bakul) Dan Doku (Nyiru)
|
Wonca (Bakul) |
Disamping kerajinan dari daun lontar, masyarakat Sambori juga menekuni kerajinan dari bambu dan rotan seperti Wonca atau bakul dan Doku (Nyiru). Namun proses pembuatan kerajinan anyaman ini tidaklah seramai dan sebanyak warga yang melakoni anyaman dari daun pandan atau lontar.
|
Doku (Nyiru) |
Doku adalah wadah untuk menapis dan membersihkan beras dan kulit gabah atau kerikil yang bercampur dengan biji gabah. Beras yang sudah ditapis atau disaring dengan Doku di masukkan dalam wadah yang bernama Wonca (bakul). Ukuran Wonca bermacam-macam, ada yang besar, sedang dan ada yang berukuran kecil.
Selain sebagai wadah untuk menyimpan gabah dan beras, Doku dan Wonca juga menjadi wadah untuk menyimpan berbagai jenis bahan pangan lainnya, seperti kacang kedelai, kacang hijau , jagung dan lain-lain.
8. Sarau (Camping)
Sarau adalah topi tradisional Mbojo yang dianyam dari bahan baku bambu. Sarau dapat dipakai oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan, bila mereka pergi ke sawah ladang, ke gunung , ke tegalan dan kebun. Bukan hanya untuk melindungi dari kehujanan tetapi juga untuk melindungi diri dari panas terik matahari.
Para pengrajin yang memiliki ketrampilan dalam menganyam tersebar di beberapa desa. Desa-desa yang sampai sekarang masih aktif memproduksi sarau antara lain Desa Ntori, Maria dan Desa-desa lain di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Desa Lela Mase dan Nungga di Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima, dan beberapa desa di Kecamatan Sape Kabupaten Bima.
9. Tare (Nampan) Dari Rotan
Masyarakat Sambori juga kreatif membuat Tare (Nampan) dari rotan dan Bambu. Kreatifitas ini dilakukan untuk kepentingan upacara dan menghadiri undangan Jambuta (hajatan) keluarga baik yang ada di Sambori maupun di luar Sambori. Biasanya Tare-tare ini dibawa oleh kaum perempuan untuk menyimpan perangkat sirih pinang dan makanan “Teka Ra Ne’e” (Sumbangan untuk keluarga dan kerabat yang berhajat berupa beras, sayur dan buah-buahan serta bahan makanan lainnya.
10. Sadopa (Sandal Tradisional Sambori)
Tangan-tangan terampil orang Sambori tidak hanya menyentuh anyaman, tapi masalah alas kakipun tak luput menjadi perhatian. Sadopa adalah sandal tradisional yang telah dibuat masyarakat Sambori sejak berabad-abad lamanya. Bahan Dasarnya adalah Kayu hutan yang kuat dan tahan lama seperti kayu Sopa, Kayu Impi dan ada juga dari kayu Nangka.
Cara membuat Sadopa adalah dengan memotong kayu-kayu tersebut dan dibentuk menyerupai sandal sesuai ukuran kaki pemakainya. Hanya saja perbedaannya dengan sandal, Sadopa hanya mempunyai Tangkai di depan yang berfungsi untuk memasukan celah antara Jari dengan ibu jari kaki. Setiap Rumah di Sambori memiliki Sadopa yang perlu terus dilestarikan untuk menjadi souvenir bagi wisatawan.
11. Peralatan Dapur
Hampir seluruh peralatan Dapur masyarakat Sambori dibuat dengan cara tradisional dan secara utuh diambil dari alam. Beberapa peralatan dapur itu adalah Tungku perapian yang berasal dari batu-batu gunung dan batu kali, piring nasi (Kale’a) dari potongan buah labu (Bima= Wila), sendok makan dari batok kelapa, serta tempat air dari labu (wila).
Cara pembuatan alat perkakas itu cukup sederhana yaitu dengan membentuk batok Kelapa misalnya untuk menjadi sendok dan piring nasi. Demikian juga perkakas lainnya. Alat-alat ini cukup kuat, tahan lama dan tidak mudah pecah. Disamping itu, menyimpan air dengan wadah dari labu sangat baik untuk menjaga kejernihan air dan tetap segar jika diminum di teriknya mentara saat di sawah/ ladang.
12. Tenunan Sambori
Tenunan Tradisional Bima–Dompu khususnya Sambori jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Di Sambori, menenun merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari daerah mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal daerahnya.Dalam masyarakat tradisional Sambori, tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus. Pada umumnya, ragam hias dan warna pada tenunan Sambori adalah warna hitam dan kotak-kotak/garis putih kecil-kecil. Pada masa lalu, perempuan Sambori memproduksi Sarung, kadang juga Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat Pinggang).