Di zaman baheula, Bima belum merupakan kesatuan politik yang besar. Ncuhi menjadi pemimpin kesatuan politik kecil yang otonom. Dalam kisah rekaan para orang tua dahulu, ncuhi digambarkan sebagai figur sakti, lucu dan aneh-aneh.
Ketika Gajah Mada mendarat di Teluk Bima dalam misi menaklukkan Dompu, aristokrat Majapahit itu terheran-heran dengan para tetua lokal yang menghadap. Mereka ternyata mewakili komunitas kencuhiannya saja. Dus, tidak ada pemimpin yang mengkordinasikan mereka dalam wadah kesatuan pemerintahan yang besar.
Fakta ini yang memudahkan Gajah Mada kelak mengintegrasikan ncuhi tersebut dalam wadah negara Bima, yang dia bentuk. Negara ini sekaligus dirancang untuk mengontrol Dompu jika kelak memberontak pada Majapahit di kemudian hari.
Jauh sebelum Gajah Mada datang, tersebut ncuhi Bolo, penguasa wilayah Bolo sekarang. Dia biasa curhat-curhatan dengan rekannya dari Dompu di satu tempat di perbatasan Bima Dompu. Di tempat itu, pada tepian sungai di bawah pohon rindang keduanya mengobrol santai. Dibelai angin pegunungan, ncuhi Bolo tertidur. Kendati terkantuk-kantuk juga, ncuhi Dompu menahan diri. Timbul akal jenakanya menggodanya rekannya. Dia bendung aliran sungai yang mengarah ke Bolo. Air pun mengalir semua ke Dompu.
Saat bangun, ncuhi Bolo kaget melihat aliran sungai ke Bolo mengering. Dilihatnya ncuhi Dompu tertidur. Namun dia megguman, “oh, begitu caranya?”
Dia pun bersumpah, “baiklah Dompu airnya, Bima isinya.”
Sumpah itu seperti menorehkan fakta. Namun kini kedua entitas itu terintegrasi dalam dalam wadah Kapet Bima.
Bima sendiri seperti sumpah ncuhi memang amat kaya. Sejak era kolonial pelabuhan Bima mendapat untung lumayan dari ekpor kayu sepang oleh Belanda ke Jepang, Cina dan Eropa di abad ke-17.
Bima secara geostrategis, punya poisisi yang ideal sehingga menjadi sorga bagi budidaya mutiara. Daerah ini terletak pada pertemuan Samudera Atlantik dengan Hindia sehingga merupakan jalur migrasi ikan dan plankton. Selanjutnya Pulau Sumbawa secara keseluruhan diapit oleh dua selat (Sape dan Alas) yang berarus deras. Selat ini pun membawa serta banyak planton. Pantai yang mengelilingi Bima umumnya landai, bersih dan bebas polusi.
Tengok sukses budidaya mutiara di Teluk Sape, yang sudah puluhan tahun beroperasi. Belakangan muncul budidaya kerapu. Keduanya berjalan bagus.
Pulau karang di mulut teluk punya banyak gua alam, tempat sarang walet. Dari sekitar 10 gua, hanya dua gua yang dirawat untuk budidaya oleh pengelola, warga Sape. Dengan dua gua saja, Pemkab Bima pernah mengantongi PAD Rp 1,3 miliar. Gua alam lain yang kaya akan walet tersebar di sekitar pegunungan pantai selatan Parado.
Bicara ikan tentu Sape gudangnya. Lebih dari 1.743 nelayan Sape mengoperasikan 1.645 kapal dari 3.158 kapal nelayan di Bima. Sebanyak 3.473 nelayan di Bima menggantungkan hidupnya dari laut. Teluk Sape yang berarus deras ternyata menyembunyikan gua-gua bawah laut tempat lobster alam bersarang. Produksi lobster (alam) dari Sape, Lambu dan Langgudu mencapai 21,7 ton sertahun periode 2007 saja.
Selat itu pun juga mensuplai plankton, sumber makanan makhluk laut termasuk kerang mutiara. Rantai makanan itu terhubung oleh pertemuan Samudera Pasifik dan Hindia. Akibatnya pantai-pantai di Bima sangat kaya dan bersih dari polusi. Pantai-pantainya yang pandai sangat ideal untuk untuk bididaya mutiara tidak seperti umunya pantai di Jawa, Bali atau Nusa Tenggara Timur yang curam atau berlumpur.
Karakteristik pantai seperti itu terdapat hampir di seantero Pulau Sumbawa. Di Teluk Waworada misalnya beroperasi perusahaan budidaya mutiara. Di Kilo serta Piong juga ada.
Tidak hanya di laut, kawasan pegunungan di Sape dengan lembah-lembah yang subur sangat ideal untuk budidaya sapi. Sapi umumnya tidak dikandangkan tapi dbiarkan hidup bebas di alam. Cara beternak seperti itu sudah turun-temurun dilakukan waktu kerbau menjadi komoditas andalan Bima di era 70-an.
Pantai-pantai di Bima juga sangat ideal budidaya rumpat laut. Di patai selatan seperti di Waworada serta sebagian Sanggar, Soromandi, Wera, Sape dan Langudu ideal untuk rumput laut. Saat ini sentra produksi rumput laut baru ada di Waworada dengan potensi areal 1,23 ha. Jauh lebih luas dari Dompu, yang mencapai 323 ha di Kwangko.
Hanya saja, potensi laut Bima yang melimpah belum tergarap dengan baik. Nelayan Sape, Rompo dan Wane secara tradisional memanfaatkan kekayaan laut dengan kapal yang relatif kecil sehingga sat musim barat yang bergelombang nelayan tidak bisa melaut. Padahal idealnya perlu kapal penangkap minimal 7 GT untuk perairan lepas pantai dan 39 GT untuk perairan ZEEI. Sebagai gambaran nelayan di Dusun Karama, Desa Piong Kecamatan Sanggar memancing tuna dengan kapal tradisional ukuran kecil. Padahal mereka biasa menangkap tuna seberat 90 kg.
Jelaslah Bima dengan luas wilayah 4.394,38 km2 yang didukung penduduk 438.522 jiwa merupakan satu potensi besar. Dengan topografi berbukit-bukit, luas lahan sawah 6,98 persen, mampu menghasilkan rata-rata 390,420 ton per tahun setelah digabung dengan Dompu dalam kawasan KAPET Bima. Begitu pun jagung, rata-rata 23.929 ton pada areal 9.121 ha, kedelai 47.131 ton di areal tanam 39.300 ha, kacang tanah 11.729 ton di areal 9.167 ha, srikaya 2,899 ton pada areal 2,444 ha dan kemiri 2.170 ton di areal 2,387 ha.
==========================================================
==========================================================
0 Komentar:
Post a Comment
Hal penting saat berkomentar :
1. Baca artikelnya, lalu beri komentar yang sesuai dengan tema.
2. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda....