Dalam tradisi masyarakat Bima-Dompu dikenal ada dua rangkaian upacara Adat dalam kehidupan seorang anak manusia. Dua rangkaian tersebut yaitu Upacara adat Nggana ro Nggina dan Nika Ro Neku. Nggana Ro Nggina prosesnya dimulai dari bayi dalam kandungan hingga Keka atau Aqiqah.
Sedangkan Nika Ra Neku prosesnya berawal dari kegiatan La Lose Ro La ludi (Kunjungan Rahasia orang tua seorang pemuda kepada orang tua gadis) sampai pada kegiatan Pamaco atau pemberian sumbangan kepada penganten baru.
Upacara Nggana Ro Nggina (Upacara Kelahiran) merupakan mata rantai kegiatan upacara daur hidup, yang meliputi upacara Kiri Loko (Nuzul Bulan), Nggana (Melahirkan), Upacara Keka atau Aqiqah, Upacara Cafi Sari (menyapu lantai), Boru dan Dore (Mencukur Rambut dan Menginjak Tanah), dan Mbei Ngara (Pemberian Nama).
1. Makna Hidup Dalam Kiri Loko Dalam tradisi Masyarakat Bima-Dompu juga dikenal adanya Upacara Nujuh Bulan atau dikenal dengan Kiri Loko atau Salama Loko. Upacara ini digelar saat kandungan seorang ibu yang baru pertama kali mengalami hamil memasuki usia tujuh bulan.
Upacara ini penuh dengan simbol dan makna. Karena upacara ini dihajatkan untuk menjaga agar sang ibu bersama calon bayi berada dalam keadaan sehat wall afiat baik jasmani maupun rohani. Dengan harapan apabila sang bayi sudah lahir dengan selamat akan menjadi anak yang beriman, bertaqwa, cerdas dan berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Upacara dilaksanakan pada waktu “Maci Oi Ndeu” (manis air mandi) dalam pengertian pada waktu yang cocok untuk memandikan bayi, yaitu sekitar jam 09.00 yang dihadiri oleh para ibu – ibu dan “Sando Nggana” (dukun beranak). Tapi seiring kemajuan ilmu kesehatan, peranan Sando Nggana sudah mulai berkurang. Pada masa sekarang, upacara ini didampingi oleh bidan dan juga Sando Nggana. Jadi perpaduan antara ilmu tradisional dan moderen tetap dilakukan oleh masyarakat Bima-Dompu.
Diawali dengan do’a bersama oleh para ibu memohon kepada Allah SWT agar sang ibu bersama bayi dalam kandungan selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu upacara ini dinamakan upacara Salama Loko atau selamatan Perut.
Seusai berdo’a, maka Sando Nggana menggelar tujuh lapis sarung, kemudian ditutupi dengan kain putih. Pada setiap lapis sarung disimpan uang perak dan beras kuning. Tujuh lapis sarung sebagai simbol tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah tempat manusia hdup di dunia. Tujuh lapis sarung juga mengandung makna bahwa manusia akan mengalami kehidupan dalam tujuh tahap yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa anak–anak, masa dewasa, masa tua, hidup di alam kubur dan yang terakhir hidup di alam baqa (akhirat).
Kain putih sebagai simbol keikhlasan seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik putra–putri serta dalam mengemban tugas sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Beras kuning adalah lambang kesejahteraan dan kejayaan keluarga dan uang perak mengandung makna sebagai modal dalam kehidupan.
Pada waktu yang ditentukan diawali bacaan Basmallah diikuti dengan shalawat, sang ibu tidur di atas hamparan kain putih yang telah disediakan. Sando Nggana mengoles dan mengurut perut sang ibu dengan sebutir telur yang telah diminyaki dengan minyak kelapa yang masih baru. Hal ini dikandung maksud agar sang bayi berada dalam posisi yang normal dan juga urat–urat perut ibu tidak berkerut. Pengolesan perut dilakukan secara bergilir oleh Sando Nggana kemudian diikuti oleh para tokoh adat perempuan.
Setelah itu Sando Nggana memandikan sang ibu dengan air dingin yang dicampur dengan Wunta Mundu (kembang melati), Wunta Kananga (kembang kenanga) dan wunta jampaka (kembang cempaka). Hal itu dilakukan sebagai simbol pengharapan seluruh keluarga agar sang ibu bersama sang bayi beserta seluruh keluarga mampu mengharumkan nama sanak saudara dan keluarga.
Kemudian Sando Nggana bersama para ibu menabur beras kuning ke hadapan para tamu sambil membagi–bagikan uang sedekah kepada anak–anak yang sudah menunggu di halaman rumah. Upacara ditutup dengan menikmati bersama “Mangonco” (Rujak) dan berbagai jenis kue tradisional dengan diakhiri pembacaan do’a.
Selama masa “Tani Weki” (mengandung) sang ibu bersama suami dan seluruh anggota keluarga harus mematuhi ketentuan adat sebagai berikut:
- Piara nggahi ro eli (Memelihara Perkataan), suami dan isteri juga bersama keluarga tidak boleh sama sekali mengucapkan kata–kata yang kotor dan yang kasar.
- Piara ruku ro rawi (memelihara prilaku atau kelakuan), suami isteri bersama anggota keluarga harus berusaha untuk meningkatkan amal saleh dan menjauhi perbuatan tidak terpuji.
- Piara ngaha ro nono (Memelihara Makanan dan Minuman) suami dan isteri bersama anggota keluarga, harus menjauhkan diri dengan makanan yang haram dan diperoleh dengan cara–cara yang tidak terpuji. Harus memakan makanan yang halal dan bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani.
0 Komentar:
Post a Comment
Hal penting saat berkomentar :
1. Baca artikelnya, lalu beri komentar yang sesuai dengan tema.
2. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda....